02 December 2025 21
Berita

Risiko Musim Hujan Meningkat, Perlindungan Asuransi Jadi Sorotan

Oleh: Deni SupriadiEditor: Erik Hamzah
 

Picture3

Ilustrasi banjir di wilayah Cikeas, Kabupaten Bogor (Foto : RRI/Deni)


KBRN, Jakarta : Memasuki puncak musim penghujan, risiko bencana hidrometeorologi kembali meningkat di berbagai wilayah Indonesia. Mulai dari curah hujan ekstrem, banjir, angin kencang dan tanah longsor.

PT. Reasuransi Indonesia Utama (Persero) mencatat bahwa banjir masih menjadi salah satu sumber klaim terbesar bagi sektor asuransi nasional. Dalam catatan perusahaan, nilai gross retention dari kejadian banjir besar menunjukkan fluktuasi yang signifikan, yakni banjir 2007 mencapai USD 11,77 juta, banjir 2013 sebesar USD 6,7 juta, kemudian melonjak pada banjir 2020 hingga USD 13,2 juta dan pada banjir besar 2025 tercatat sebesar USD 4,32 juta. 

Sayangnya, Indonesia masih menghadapi risk awareness gap yang cukup besar. Ban yu ak masyarakat yang belum menyadari bahwa cuaca ekstrem bukan hanya persoalan musiman, tetapi juga ancaman finansial yang dapat menimbulkan kerugian signifikan. 

Indonesia Re menilai bahwa edukasi publik harus diperkuat karena kesadaran mengenai resiko bencana dan nilai ekonomis perlindungan asuransi masih belum merata. Industri dinilai perlu memanfaatkan data empiris dan pengalaman kejadian bencana untuk memberikan pemahaman yang lebih konkret kepada masyarakat. 

"Kolaborasi lintas lembaga juga dinilai penting, terutama bersama pemerintah, OJK, dan BNPB untuk menyelaraskan pesan mitigasi risiko dalam kegiatan edukasi kebencanaan nasional," ujar Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, Delil Khairat dalam keterangan resminya, Selasa (2/12/2025).

Delil juga menyoroti kesalahpahaman umum yang masih banyak ditemui di masyarakat, yaitu anggapan bahwa kerusakan akibat bencana otomatis dijamin oleh polis asuransi. 

Dalam praktiknya, sebagian besar risiko bencana seperti banjir, gempa bumi, atau letusan gunung berapi merupakan extended perils, yaitu perluasan jaminan yang harus secara khusus ditambahkan ke dalam polis dan biasanya disertai tambahan premi sesuai tingkat risiko wilayah masing-masing.

“Selain itu, masyarakat sering belum memahami perbedaan antara kerusakan langsung seperti bangunan terendam air dan kerugian tidak langsung seperti gangguan usaha, padahal keduanya memiliki mekanisme perlindungan yang berbeda.” katanya.

Delil menilai penting bagi industri untuk memberikan penjelasan menyeluruh sejak tahap penawaran, pemasaran, hingga proses klaim agar ekspektasi para pemegang polis selaras dengan cakupan perlindungan yang mereka miliki.

Dari sisi pengembangan kebijakan, Indonesia Re terus memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dan regulator dalam pengembangan skema pembiayaan risiko bencana nasional. Salah satu inisiatif yang tengah dikembangkan bersama Kementerian Keuangan, Maipark, dan ITB adalah penerapan asuransi parametrik bencana. 

Berbeda dari asuransi konvensional yang berbasis nilai kerusakan fisik, asuransi parametrik menggunakan indikator seperti intensitas curah hujan, kecepatan angin, atau magnitudo gempa sebagai pemicu pembayaran klaim, sehingga pencairan dapat dilakukan lebih cepat untuk mendukung tahap tanggap darurat.