02 November 2020 10430
Risiko Kesehatan

Antibody Dependent Enhancement

ant
Sumber foto: www.freepik.com
 
Pemberitaan tentang kesiapan pemerintah Indonesia untuk segera memulai proses vaksinasi COVID-19 bagi masyarakat luas disambut baik oleh berbagai kalangan. Bagaimana tidak, sudah hampir setahun ke belakang ini, masyarakat Indonesia dan masyarakat di seluruh dunia terpaksa harus melakukan penyesuaian dan pembatasan besar-besaran atas gaya hidup dan aktivitas yang selama ini mereka lakukan. Selain itu, pandemi COVID-19 ini tidak hanya menyebabkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat, namun juga turut menyeret berbagai aspek kehidupan lainnya –seperti aspek finansial dan sosial- dalam keterpurukan. Sehingga tidak mengherankan, bahwa berita baik sekecil apapun itu, akan disambut dengan gembira oleh masyarakat.
 
Pada artikel-artikel sebelumnya, kita telah membahas tentang proses pembuatan dan pengujian vaksin, serta kandidat-kandidat vaksin yang menjadi incaran pemerintah Indonesia. Pada artikel ini, kita akan membahas sebuah fenomena yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir di masyarakat, karena merupakan salah satu potensi kekhawatiran dari pemberian vaksin COVID-19.
 
Fenomena yang akan kita bicarakan ini dinamakan Antibody-Dependent Enhancement (ADE). Jika dilihat definisinya secara harfiah, fenomena ini merupakan kondisi di mana terjadi peningkatan atau akselerasi aktivitas tertentu yang disebabkan oleh keberadaan suatu antibodi. Sayangnya, peningkatan yang terjadi pada fenomena ini bukanlah hal yang baik dan kita inginkan. Yang justru terjadi adalah adanya peningkatan derajat keparahan suatu penyakit, yang terjadi akibat adanya antibodi tertentu pada tubuh.
 
Bagaimana fenomena ini dapat terjadi?
 
ant1
Sumber foto: www.freepik.com
 
Untuk memahami bagaimana fenomena ini dapat terjadi, kita harus kembali lagi ke prinsip dasar dan mekanisme dari pemberian vaksin. Dalam proses pemberian vaksin, kita akan mengambil bagian dari suatu virus, baik itu dalam bentuk aktif/hidup ataupun dalam bentuk inaktif/dilumpuhkan. Bagian yang diambil ini merupakan bagian yang dinilai ‘aman’ untuk dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dalam artian, kita tidak akan mengalami sakit jika bagian dari virus ini masuk ke tubuh kita. Dengan masuknya bagian virus ini, tubuh kita diharapkan akan mengenalinya sebagai ‘ancaman’, sehingga tubuh kita akan membentuk ‘senjata’ yang dinamakan antibodi.
 
Antibodi ini sendiri umumnya baru terbentuk setelah kita terinfeksi suatu penyakit. Dengan pemberian vaksin, kita tidak perlu harus terinfeksi dan sakit dahulu untuk dapat memiliki antibodi. Vaksinlah yang berperan untuk mentrigger sistem imun kita untuk dapat membentuk antibodi.
 
Permasalahannya adalah, sistem imun merupakan hal yang kompleks. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap vaksin, pemberian vaksin ternyata tidak hanya dapat memberikan efek kekebalan, namun juga dapat mencetuskan beberapa efek samping, baik yang merupakan efek samping dari bahan vaksin itu sendiri (misalnya, alergi terhadap bahan vaksin) atau efek samping dari proses vaksinasi yang dilakukan (misalnya, bengkak dan meradang pada area penyuntikan). Salah satu dari efek samping yang paling dikhawatirkan adalah jika vaksin tersebut bukan hanya tidak mampu memberikan kekebalan, namun justru malah memicu terjadinya reaksi tubuh yang tidak diinginkan.
 
ant2
Sumber foto: www.freepik.com
 
Pada fenomena ADE, pemberian vaksin memang akan membentuk suatu antibodi. Namun, antibodi itu bukannya akan membantu tubuh kita memerangi adanya infeksi, malah justru akan membantu virus yang masuk ke tubuh menjadi lebih mudah menginfeksi tubuh kita. Dengan adanya ADE, tubuh yang terinfeksi dan sebelumnya pernah menerima vaksinasi, justru akan berpotensi mengalami penyakit dengan derajat yang lebih berat.
 
Kondisi ADE ini tentunya bukan hanya sekedar teori belaka. Potensi ADE sendiri memang sudah muncul pada vaksin demam berdarah dengue (DBD). Pada tahun 1977, Scott Halstead, seorang ahli virology di University of Hawaii, menyadari adanya fenomena tak terduga yang saat itu tidak diketahui dari penyakit demam berdarah. Hewan yang telah memproduksi antibodi untuk satu dari empat jenis virus demam berdarah yang ada, justru menderita sakit yang lebih berat ketika mereka terpapar penyakit tersebut untuk kedua kalinya. Diperkirakan, penyebabnya adalah antibodi yang diproduksi pada saat paparan pertama itu sendiri justru memberi kesempatan virus kedua untuk masuk ke dalam tubuh.
 
Selain dari vaksin DBD, fenomena ADE juga turut muncul pada penelitian vaksin SARS, MERS, Ebola, RSV, dan HIV secara in silico (simulasi computer) dan in vitro (percobaan di cawan petri laboratorium). Pada manusia sendiri, fenomena ADE pada vaksin-vaksin tersebut memang belum dapat dibuktikan karena belum adanya penelitian yang memadai, panjang, dan meluas.
 
Walaupun ADE ini memang merupakan masalah yang serius, hingga saat ini belum ada bukti atau laporan akan adanya ADE pada uji klinis vaksin COVID-19 manapun. Guru Besar Fakultas Kedokteran UNPAD yang juga merupakan Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin COVID-19 UNPAD, Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), M.M. juga turut menegaskan bahwa hingga saat ini, fenomena ADE yang dikhawatirkan, belum muncul pada uji klinis vaksin COVID-19 manapun. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi alasan bagi kita untuk lengah, karena kewaspadaan dan pemantauan akan keamanan vaksin merupakan prioritas dalam proses uji klinis. Terutama, dengan mempertimbangkan bahwa proses pembuatan vaksin ini jauh lebih singkat jika dibandingkan dengan proses pembuatan vaksin pada umumnya.
 
ant3
Sumber foto: www.freepik.com
 
Kita semua tentunya sepakat bahwa kita menginginkan agar vaksin COVID-19 dapat segera ditemukan, agar kita dapat ‘kembali’ ke kehidupan pra-COVID-19 kita. Namun, harus dikatakan bahwa vaksin yang keamanan serta efikasinya belum teruji, dapat menjadi hal yang lebih buruk dari tidak adanya vaksin. Kita tentunya tidak menginginkan untuk menerima vaksin yang belum teruji keamanan dan efikasinya. Kita tidak menginginkan masyarakat kita memiliki ‘rasa aman yang palsu’, yang ditrigger oleh adanya asumsi bahwa mereka ‘merasa kebal’ dari COVID-19, yang mana akan cenderung membuat masyarakat lengah dan abai dari protokol kesehatan. Karena sesungguhnya, vaksinasi yang paling dapat kita andalkan saat ini adalah tetap konsisten dan sabar untuk melakukan protokol kesehatan dengan baik dan benar.

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id