17 February 2020 4219

Serba-Serbi Jamu

Jamu telah menjadi bagian dari kehidupan dan pengobatan tradisional bagi masyarakat Indonesia. Secara turun-temurun, kita mengenal berbagai jenis serta khasiat jamu dari orang tua dan keluarga kita. Bahkan tidak sedikit orang yang lebih mempercayakan kesehatannya pada jamu dan pengobatan tradisional, dibandingkan dengan pengobatan konvensional yang ditangani oleh tenaga kesehatan berlisensi.

 

Asal-usul Jamu

Sumber foto: http://fadhil-nugroho.blogspot.com/2015/09/lika-liku-sejarah-jamu.html

Praktik pengobatan tradisional telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Prasasti pada abad 5M dan ukiran relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran pada abad 8 – 9M yang menyatakan bahwa penggunaan ramuan kesehatan telah dimulai sejam zaman mesoneolitikum. Istilah ‘djamoe’ sendiri baru mulai dikenal pada abad 15 – 16 M, sebagaimana tersurat dalam primbon di Kartasura yang menyatakan bahwa ‘djamoe’ merupakan singkatan dari djampi, yang berarti doa atau obat dan oesodo (husada), yang berarti kesehatan. Dengan kata lain, ‘djamoe’ merujuk kepada doa atau obat yang bertujuan untuk meningkatan kesehatan.

Pada awal abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris, dan Jerman telah menunjukkan ketertarikan mereka untuk mempelajari jamu. Bahkan, dr. Carl Waitz telah menuliskan ketertarikannya tersebut ke dalam sebuah buku yang bertajuk ‘Practical Observations on a Number of Javanese Medication’, di mana di dalamnya menjelaskan bahwa pengobatan konvensional yang lazim digunakan di Eropa, dapat digantikan oleh pengobatan tradisional dan herbal di Indonesia dengan menggunakan bahan-bahan seperti rebusan sirih dan rebusan kulit kayu manis.

Pada tahun 1850, di The Weltevreden Military Hospital –saat ini telah menjadi RS Gatot Subroto-, seorang pakar kesehatan bernama Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan para dokter di rumah sakit tersebut untuk turut memanfaatkan tanaman-tanaman tersebut untuk pengobatan, sebagai pendamping pengobatan konvensional. Khasiat dari tanaman-tanaman tersebut telah diteliti oleh seorang ahli farmasi bernama Willem Gerbrand Boorsma –yang saat itu menjabat sebagai direktur dari Lands Plantentuin te Buitenzorg, alias Kebun Raya Bogor- dan hasil penelitian itu kemudian dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies. Pada abad ke-19, dr. Cornelis L. van den Burg meluncurkan sebuah buku bertajuk Materia Indica yang membahas tentang pemanfaatan jamu di Indonesia.

Pada tahun 1930, masyarakat Indonesia mulai tergerak untuk menggali potensi dan mengkaji lebih dalam jamu dan pengobatan herbal lainnya. Dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo yang berpartisipasi di dalam salah satu penelitian tersebut juga turut menganjurkan pemanfaatan jamu dan pengobatan herbal sebagai metode pengobatan preventif untuk menjaga kesehatan. Pada tahun 1939, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan konferensi dan mengundang dua orang praktisi pengobatan tradisional untuk mempresentasikan metode pengobatan tradisional. Seluruh peserta konferensi pun menunjukkan ketertarikan mereka atas metode pengobatan treadisional. Terbukti setelah itu, seni pengobatan tradisional termasuk bisnisnya mulai berdiri dan menjamur di Indonesia. Sebut saja PT Jamoe Iboe Jaya, PT Nyonya Meneer, dan PT Sidoe Muncul.

Legalitas Jamu

Dengan semakin maraknya industri jamu, pemerintah mulai tergerak untuk membuat peraturan yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari industri jamu. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/MENKES/PER/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisonal, dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 584/MENKES/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) yang bertujuan untuk menjamin peningkatan penggunaan dan pengawasan terhadap obat-obatan tradisional.

Guna menjamin kualitas dari jamu dan pengobatan tradisional, pemerintah melalui Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat telah mengadakan pendidikan non-formal berupa pelatihan atau kursus singkat yang bertujuan untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi para praktisi pengobatan tradisional. Dokter dan tenaga kesehatan yang memiliki minat pada pengobatan tradisional juga dapat mengikuti pendidikan tersebut melalui SP3T.

Perkembangan jamu dan pengobatan tradisional terus mengalami kemajuan, dan pada tanggal 27 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Merdeka meresmikan jamu sebagai brand Indonesia sekaligus mencanangkan Hari Kebangkitan Jamu Indonesia. Perkembangan tersebut juga didukung dengan diakuinya jamu dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, khususnya pada pasal 48 ayat 1(2) yang menyebutkan bahwa dari 17 upaya kesehatan, tercantum upaya pelayanan kesehatan tradisional yaitu pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun-temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pada saat bersamaan, kementerian kesehatan menyusun Standar Pelayanan Medik Herbal yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 121/MENKES/SK/II/2008 diikuti dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 261/ Menkes/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi pertama. Pola pikir PB IDI juga berubah dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut dengan membentuk Bidang Kajian Pengobatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer pascaMuktamar IDI ke-27 di Palembang tahun 2009.

 

Sumber foto: https://jakartaglobe.id/lifestyle/jamu-way-good-health/

 

Walaupun mengalami berbagai kemajuan yang signifikan, perjuangan untuk perkembangan jamu dan pengobatan tradisional masih belum tuntas. Salah satu permasalahan yang masih mengganjal adalah kesulitan produsen jamu dan pengobatan tradisional untuk mendapatkan registrasi BPOM. Selain itu, saat ini juga sedang marak adanya persaingan kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal pengaturan izin edar produk jamu di tanah air, di mana Kementerian Kesehatan mengambil alih izin edar produk farmasi yang sebelumnya berada di bawah BPOM. Harapannya adalah, registrasi serta perizinan untuk jamu dan pengobatan tradisional tidak dipersulit dan berbelit-belit karena sebagian besar pelaku industri ini adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memiliki keterbatasan modal. Untuk hal ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang baik tentang seluk beluk bisnis di dunia farmasi –termasuk pengobatan tradisional- serta mengawal perkembangan jamu dan pengobatan tradisional yang merupakan produk kebudayaan Indonesia yang sudah diakui oleh dunia.

Jamu sebagai andalan masyarakat Indonesia

 

Sumber foto: https://www.pegipegi.com/travel/nongkrong-sehat-di-3-kafe-jamu-di-jakarta-ini-yuk/

Jamu telah menjadi bagian budaya dan kekayaan alam Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010, penggunaan jamu oleh masyarakat Indonesia telah mencapai lebih dari 60% dan lebih dari 95% masyarakat Indonesia mengakui bahwa jamu memang memiliki khasiat bagi kesehatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi pada jamu dan pengobatan tradisional, dan jamu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Jamu sendiri dapat dibuat secara tradisional ataupun modern/pabrik. Namun demikian, keduanya menggunakan bahan-bahan alami yang sama. Berikut adalah beberapa bahan alami yang dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan

Kunyit

Kunyit asam merupakan salah satu racikan jamu yang paling populer. Jamu ini diracik dari kunyit dan asam Jawa, serta dapat juga menggunakan bahan-bahan lainnya seperti temulawak, sinom, biji kedawung, jeruk nipis, gula Jawa, dan garam. Kunyit sendiri dipercaya mengandung anti-oksidan yang tinggi dan berkhasiat untuk meredakan dan melancarkan haid, meredakan peradangan, meredakan nyeri sendi, membantu menurunkan kadar kolesterol, dan membantu pemulihan penyakit.

Beras Kencur

Beras kencur juga merupakan salah satu racikan jamu yang paling populer. Racikan jamu ini terdiri dari beras dan kencur, serta beberapa bahan lainnya seperti biji kedawung, rimpang jahe, biji kapulaga, asam Jawa, kunyit, gula merah, jeruk nipis, garam, dan keningar. Jamu beras kencur dinilai berkhasiat untuk meredakan nyeri otot dan pegal-pegal, meringankan batuk, menjaga fungsi saluran pencernaan, menambah nafsu makan, serta menjaga kesehatan dan kesegaran tubuh.

Temulawak

Temulawak memiliki kandungan xantorrhizol yang dipercaya memiliki efek anti-bakteri, anti-peradangan, anti-oksidan, menghambat pertumbuhan sel kanker, mencegah penyumbatan pembuluh darah, memperlancar fungsi saluran pencernaan, dan meningkatkan nafsu makan. Racikan jamu temulawak sendiri dapat ditambahkan dengan bahan-bahan seperti kencur, asam Jawa, gula aren, daun pandan, dan jinten. Dengan racikan tersebut, jamu temulawak dipercaya berkhasiat untuk meredakan masuk angin, meredakan nyeri kepala, meredakan peradangan, menjaga fungsi saluran pencernaan dan liver, serta menjaga daya tahan tubuh.

Kunci sirih

Racikan jamu kunci sirih terdiri dari kunci dan sirih, serta dapat ditambahkan beberapa bahan lainnya seperti daun luntas, kunyit, jahe, kencur, kapulaga, kayu manis, asam Jawa, serai, dan buah delima untuk mengurangi rasa asam atau kecut. Jamu ini dipercaya memiliki khasiat yang baik bagi perempuan, khususnya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan organ reproduksi mereka. Selain itu, racikan jamu kunci sirih juga dipercaya dapat menghilangkan aroma badan yang tidak sedap serta memperkuat tulang dan gigi.

Jahe

Jahe dipercaya memiliki khasiat untuk mengatasi peradangan, meredakan nyeri otot dan sendi, meredakan nyeri haid, serta meredakan mual dan muntah. Jahe sering digunakan dalam racikan jamu lainnya, karena efeknya yang dapat menghangatkan dan membuat badan menjadi nyaman.

Dengan melihat berbagai khasiat yang ditawarkan oleh jamu, konsumsi jamu dapat dipertimbangkan untuk membantu menjaga kesehatan tubuh kita. Namun, kita harus teliti dalam membaca khasiat serta efek samping dari jamu serta racikannya tersebut. Jika kita memiliki kondisi khusus –penyakit tertentu, sedang hamil, menyusui, atau sedang mengkonsumsi obat tertentu- kita juga harus memperhatikan kemungkinan efek samping yang dapat mengganggu kesehatan kita. Kita juga harus memperhatikan apakah jamu tersebut telah memiliki izin dari BPOM atau Kementerian Kesehatan. Hal tersebut untuk memastikan keamanan dari jamu yang akan kita konsumsi.

 

***

 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id