16 March 2022 7891
Reasuransi Jiwa

Riwayat Pandemi Flu Spanyol 1918

Pandemi Covid di dunia telah memasuki tahun ketiganya. Sejak pertama kali teridentifikasi pada akhir tahun 2019 hingga saat ini, pandemi ini tercatat telah menyebabkan lebih dari 550 juta kasus di seluruh dunia, dan menyebabkan kematian sebanyak lebih dari 5.97 juta jiwa (data per-2 Maret 2022). Meskipun sampai saat ini Covid masih ada serta masih terus mengintai keselamatan dan kesehatan kita, kesigapan penanganan Covid secara umum di seluruh dunia patut diapresiasi, khususnya dalam pengembangan Vaksin Covid dan penetapan regime pengobatan Covid, yang mampu membantu menekan tingkat fatalitas Covid di dunia.

yasspan1
Sumber foto: www.freepik.com


Apabila menilik pada sejarah kesehatan dunia, pandemi Covid bukanlah pandemi pertama yang dunia ini hadapi. Pada tahun 1918, tercatat keberadaan pandemi flu/influenza, yang akrab dikenal sebagai Pandemi Flu Spanyol 1918 atau Great Influenza Epidemic. Pandemi Flu Spanyol 1918 ini tercatat telah menginfeksi lebih dari 500 juta orang di seluruh dunia, dan diestimasikan telah menewaskan sekitar 20 – 100 juta penderitanya.

Bagaimanakah kisah Pandemi Flu Spanyol 1918 hingga dapat menimbulkan fatalitas sedahsyat itu?
Menjelang akhir Perang Dunia I, tepatnya pada tanggal 4 Maret 1918, Prajurit Albert Gitchell dari Pasukan Angkatan Darat USA melaporkan ke RS di Fort Riley, Kansas, bahwa dirinya mengalami gejala sakit seperti demam, nyeri tenggorokan, dan nyeri kepala. Segera setelah laporan Gitchell tersebut, lebih dari 100 rekan pasukannya juga melaporkan hal yang sama. Laporan dari Albert Gitchell tersebut merupakan awal mula dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Meskipun demikian, para ahli meyakini bahwa sebenarnya sangat mungkin Pandemi Flu telah terjadi dan menjangkiti banyak orang sebelum Gitchell.

Meskipun dikenal sebagai ‘Flu Spanyol’, pandemi ini diyakini bukan berasal dari Spanyol. Para ahli meyakini bahwa kemungkinan besar, pandemi ini justru berasal dari USA, Jerman, Austria, Prancis, atau Inggris. Namun, dikarenakan Perang Dunia I masih meletus dan negara-negara tersebut ingin tetap meluncurkan serangan kepada musuh, maka, pelaporan pandemi di negara-negara tersebut pun ditahan. Sementara itu, Spanyol yang berstatus ‘netral’ pada Perang Dunia I tidak menahan pelaporan pandemi. Oleh karena itu, banyak yang beranggapan bahwa pandemi tersebut berasal dari Spanyol, karena banyak laporan kasus awal yang dilaporkan oleh Spanyol.

yasspan2

Sumber foto: www.freepik.com
 
Tidak seperti Pandemi Covid yang diakibatkan oleh infeksi Coronavirus SARS-CoV-2, Pandemi Flu Spanyol 1918 ini disebabkan oleh virus H1N1 Influenza A. Ya, benar sekali. Virus penyebab dari Pandemi Flu Spanyol 1918 ini adalah virus dari family yang sama dengan penyebab Pandemi Swine Flu pada tahun 2009, dan juga Russian Flu pada tahun 1977. Meskipun demikian, pada tahun 1977 dan 2009 teknologi kedokteran telah jauh lebih maju jika dibandingkan pada tahun 1918, sehingga, pada kedua tahun tersebut, penyebaran kasus dan fatalitas dapat jauh lebih ditekan.

Pandemi Flu Spanyol 1918 mulai tercatat pada bulan Maret 1918, dengan kasus-kasus yang terdokumentasi di USA, Prancis, Jerman, dan Inggris. Gelombang pertama pandemi ini terjadi pada bulan Maret – Agustus 1918. Kematian yang tercatat pada gelombang pertama tersebut ‘tidak terlalu besar’, jika dibandingkan dengan kematian yang tercatat akibat ‘penyakit flu biasa’ pada tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian Pandemi Flu Spanyol 1918 Gelombang Pertama ini menimbulkan gangguan yang cukup signifikan pada Perang Dunia I, di mana banyak operasi militer yang terganggu karena banyaknya prajurit yang mengalami sakit.

Gelombang kedua pandemi dimulai pada bulan Agustus 1918, tepatnya di Boston dan Freetown, Sierra Leone, melalui ekspedisi pelayaran. Sejak saat itu, pandemi ini menyebar begitu cepatnya hingga ke Central America, South America, Eropa, Rusia, Afrika, bahkan Asia. Gelombang kedua ini menyebabkan fatalitas yang jauh lebih berat jika dibandingkan dengan gelombang pertama. Fatalitas yang tercatat sepanjang gelombang kedua ini mencapai puluhan juta jiwa. Bahkan, di India saja, fatalitas pada kuartal keempat 1918 di gelombang kedua tersebut tercatat telah melebihi 20 juta jiwa.
Gelombang ketiga pandemi dimulai pada bulan Januari 1919 di Australia, tepatnya terjadi setelah pelonggaran maritime quarantine. Segera setelah itu, pandemi kembali merajalela ke Eropa, USA, dan Inggris. Gelombang ketiga pandemi tercatat berlangsung sampai sekitar Juni 1919, dengan fatalitas sekitar puluhan hingga ratusan ribu jiwa. Meskipun fatalitas tersebut tidak seberat fatalitas pada gelombang kedua, fatalitas tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan fatalitas gelombang pertama.
 

yasspan3

Sumber foto: www.freepik.com
 
Gelombang keempat pandemi dimulai pada akhir tahun 1919 dan awal tahun 1920 di USA dan Switzerland. Gelombang keempat pandemi ini berlangsung hingga bulan April 1920. Meskipun jumlah fatalitas yang terjadi masih cukup tinggi dan lebih dari fatalitas gelombang pertama, dunia seolah telah mulai ‘belajar’ tentang hal-hal yang harus dilakukan selama pandemi, sehingga, penyebaran penyakit tidak terjadi seluas gelombang-gelombang sebelumnya. Gelombang keempat pandemi ini pada akhirnya menjadi akhir dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Pada tahun 1921, jumlah kematian akibat flu di seluruh dunia tercatat telah kembali ke level pra-pandemi.
Nah, menilik dari riwayat Pandemi Flu Spanyol 1918, apa saja hal-hal yang dapat kita jadikan pembelajaran?
Yang pertama, wabah influenza atau penyakit apapun umumnya cenderung lebih fatal apabila terjadi pada orang berusia lanjut, dan orang yang berusia muda serta tidak memiliki penyakit komorbid, cenderung memiliki survival rate yang lebih baik. Sayangnya, odds ini tidak terjadi pada Pandemi Flu Spanyol 1918, yang justru lebih ‘mematikan’ bagi kelompok usia muda yang tampak sehat. Fatalitas pada kelompok usia muda ini disinyalir merupakan dampak dari badai sitokin, yang merupakan respon imun berlebih terhadap kejadian infeksi. Kelompok usia muda diyakini memiliki sistem dan respon imun yang lebih responsif dalam menghadapi infeksi, jika dibandingkan dengan kelompok usia tua. Meskipun demikian, responsivitas sistem imun tersebut bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, responsivitas sistem imun tersebut dapat membuat tubuh lebih cepat mengalahkan infeksi. Namun, di sisi lainnya, responsivitas sistem imun tersebut dapat membuat sistem imun menjadi lebih agresif, dan pada akhirnya dapat ‘menyerang’ sel-sel tubuh yang normal.

Pada Pandemi Covid ini, tidak jarang kelompok usia muda menjadi ‘jumawa’, karena merasa memiliki sistem imun yang lebih baik. Kelompok usia muda merasa kalaupun terinfeksi Covid, mereka pasti tidak akan mengalami gejala berat dan akan baik-baik saja. Padahal, seperti pada kasus Pandemi Flu Spanyol 1918, kelompok usia muda justru lebih mungkin mengalami badai sitokin, yang pada akhirnya dapat menimbulkan fatalitas juga.

Yang kedua, Pandemi Flu Spanyol 1918 ini terjadi dalam beberapa gelombang. Setiap gelombang berikutnya akan muncul, biasanya terjadi mobilisasi yang cukup massal, sehingga peningkatan dan penyebaran kasus kembali terjadi, dan kembali pula menimbulkan gelombang pandemi yang baru. Fenomena ini tercatat cukup jelas pada gelombang kedua pandemi yang diinisiasi oleh ekspedisi pelayaran, dan gelombang ketiga pandemi yang terjadi setelah pelonggaran maritime quarantine.

Dari Pandemi Flu Spanyol 1918 ini kita belajar pentingnya untuk membatasi mobilisasi masyarakat dalam upaya pencegahan penyebaran pandemi. Bagaimanapun, infeksi virus pada hakikatnya merupakan communicable disease, yang dapat menyebar apabila penderitanya melakukan mobilitas dan kemudian memaparkan infeksinya ke orang-orang lainnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Pandemi Covid yang saat ini tengah kita alami, di mana, gelombang baru biasanya muncul apabila negara-negara telah mulai melonggarkan larangan mobilisasinya, serta masyarakat telah mulai abai atau melonggarkan protokol kesehatannya.

Yang ketiga, kita harus bersyukur bahwa kita hidup di era di mana teknologi kedokteran telah sedemikian majunya. Pada Pandemi Flu Spanyol 1918, puluhan juta jiwa menjadi korban karena teknologi kedokteran pada saat itu belum mampu mengembangkan vaksin dan pengobatan yang mumpuni untuk menanggulangi pandemi tersebut. Tercatat sebagian besar korban jiwa meninggal karena infeksi bakteri sekunder (superinfection) dari infeksi flu. Para penderita superinfection tersebut meninggal karena tidak dapat menerima pengobatan yang adekuat, dikarenakan obat antibiotik baru ditemukan bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1928.

Selain itu, selama Pandemi Flu Spanyol 1918 berlangsung, para ahli juga belum dapat mengembangkan Vaksin Influenza karena keterbatasan teknologi kedokteran pada saat itu. Vaksin Influenza sendiri baru ditemukan jauh setelah pandemi berakhir, tepatnya pada tahun 1940.

Nah, dari Pandemi Flu Spanyol 1918, kita dapat menarik beberapa pembelajaran. Yang pertama, pandemi itu merupakan ancaman atas keselamatan dan kesehatan bagi semua orang. Tidak peduli, apakah orang itu berusia tua atau muda, atau apakah sebelumnya sehat atau sudah menderita suatu penyakit. Memang, ada beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor risiko atau pemberat apabila seseorang mengalami infeksi/penyakit. Meskipun demikian, orang yang tidak memiliki kondisi tersebut pun masih mungkin untuk mengalami dampak berat akibat infeksi tersebut. Jadi, tidak ada alasan kita untuk abai dan menyepelekan pandemi ini, karena semua orang dapat terkena bahayanya, termasuk kita dan orang-orang yang kita sayangi.

Yang kedua, pembatasan mobilisasi itu penting adanya dalam penanggulangan pandemi. Pandemi yang ada itu tidak hanya harus diobati, namun juga harus dicegah penyebarannya. Tidak ada artinya apabila kita hanya mengupayakan pembatasan dan penyebaran penyakit pada suatu daerah, namun di daerah lain pembatasan yang diterapkan masih sangat longgar. Karena infeksi ini merupakan communicable disease, ingatlah bahwa dalam kondisi pandemi ini no one is really safe until everyone is.

yasspan4

Sumber foto: www.freepik.com
 
Yang ketiga, kita harus bersyukur bahwa kita hidup di era teknologi kedokteran yang sudah sangat maju. Setahun setelah pandemi berlangsung saja, Vaksin Covid sudah mulai dapat diberikan kepada masyarakat umum. Pun demikian dengan pengobatan Covid yang semakin efektif karena teknologi dan pengetahuan kedokteran yang semakin maju. Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila kita dapat mensyukuri kemajuan teknologi kedokteran ini dengan memiliki attitude yang baik terhadap penanggulangan pandemi, termasuk di antaranya, turut berperan aktif dan baik dalam upaya pencegahan penyebaran infeksi, misalnya, menerapkan protokol kesehatan yang baik dan konsisten, serta berpartisipasi aktif terhadap contact tracing dari confirmed case di lingkungan kita.

Selain itu, kita juga dapat turut berpartisipasi dalam menekan fatalitas pandemi melalui Program Vaksinasi Covid, karena, Vaksin Covid dapat menekan kemungkinan kita untuk mengalami gejala berat dan fatalitas apabila terinfeksi Covid. Dengan demikian, melalui Program Vaksinasi Covid, kita dapat membantu menekan fatalitas pandemi sekaligus dapat mencegah terjadinya overload pada fasilitas kesehatan kita.

Stay safe and healthy, semuanya!
 
 
***

 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id