30 October 2023
3500
Reasuransi Jiwa
Kemunculan Kasus Mpox Kedua: Apakah Berpotensi Menjadi Epidemi Baru di Indonesia?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan konfirmasi atas teridentifikasinya kasus cacar monyet (Monkey Pox alias Mpox) di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 2023 lalu. Dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid selaku Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa penderita Mpox yang terdeteksi adalah sebanyak satu orang, dan saat ini penderita tersebut tengah menjalani perawatan khusus. Dr. Nadia menyampaikan bahwa saat ini penderita berada dalam kondisi yang relatif baik, meskipun masih mengalami demam dan lesi berbentuk keropeng, papula, dan vesikel yang cukup banyak. Kasus Mpox yang ditemukan di bulan Oktober 2023 ini merupakan kasus Mpox kedua yang terkonfirmasi di Indonesia, setelah kasus Mpox pertama ditemukan pada Agustus 2022 lalu.
Dengan melihat temuan terbaru kasus Mpox tersebut, mungkin muncul pertanyaan di benak kita: apakah penemuan kasus Mpox kedua ini menandakan munculnya wabah atau epidemi Mpox di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menyegarkan kembali ingatan kita terkait apa itu penyakit cacar monyet alias monkey pox (Mpox).
Dilansir dari website Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Mpox merupakan penyakit langka yang disebabkan oleh infeksi Monkey Pox (Mpox) Virus. Penyakit Mpox pertama kali teridentifikasi pada tahun 1958, ketika ditemukan adanya dua wabah ‘pox-like disease’ yang muncul pada koloni monyet yang sengaja ditangkarkan untuk kepentingan penelitian. Meskipun dikenal sebagai ‘monkey pox alias cacar monyet’, sebenarnya sumber dari penyakit tersebut masih belum dapat ditentukan, dan belum tentu juga berasal dari monyet. Sebagian peneliti bahkan meyakini bahwa penyebab dari infeksi tersebut justru berasal dari hewan pengerat Afrika dan kelompok primata non-manusia.
Kasus Mpox pertama pada manusia teridentifikasi pada tahun 1970. Sebelum kemunculan wabah Mpox pada tahun 2022 lalu, beberapa kasus Mpox sebenarnya pernah dilaporkan kemunculannya pada beberapa negara di Afrika. Kasus-kasus yang teridentifikasi di luar Afrika pun dilaporkan memiliki keterkaitan dengan Afrika, seperti adanya riwayat perjalanan penderita ke Afrika, atau adanya riwayat berkontak dengan hewan yang diimpor dari Afrika.
Secara umum, Virus Mpox sendiri terdiri dari dua tipe, yaitu Clade I dan Clade II. Tipe virus Clade I memiliki fatality rate sekitar 10%. Sementara itu, tipe virus Clade II yang merupakan virus penyebab dari sebagian besar wabah yang pernah terjadi di dunia memiliki fatality rate yang sangat rendah. Berdasarkan data yang ada, lebih dari 99% penderita Mpox dengan tipe virus Clade II memiliki survival rate yang sangat tinggi. Meskipun demikian, penderita Mpox dengan komorbid berupa gangguan sistem imun, anak berusia kurang dari satu tahun, penderita dengan riwayat eczema, wanita hamil, serta wanita menyusui berpotensi memiliki survival rate yang lebih rendah ketimbang populasi lainnya, mengalami gejala yang lebih berat, bahkan berpotensi mengalami fatalitas.
Mpox Virus sendiri berasal dari family yang sama dengan Virus Variola yang menyebabkan penyakit cacar air (Smallpox). Tanda dan gejala dari Mpox pun relatif serupa dengan Smallpox. Pada awalnya, penderita Mpox umumnya akan mengalami flu-like symptoms seperti demam, meriang, gangguan pernafasan (misalnya, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, dan batuk), nyeri otot, nyeri kepala, pembengkakan kelenjar getah bening, serta kelelahan. Selanjutnya, penderita akan mengalami rash (ruam) yang berlokasi pada tangan, kaki, dada, wajah, mulut, atau sekitar genitalia (penis, testis, labia, vagina, dan anus). Rash tersebut akan melalui beberapa tahap –termasuk pimples, blisters, dan menjadi keropeng- sebelum pada akhirnya masuk ke fase pemulihan.
Sebagaimana penyakit infeksi lainnya, penyakit Mpox juga memiliki masa inkubasi, yaitu masa antara waktu eksposur/terpapar hingga munculnya tanda dan gejala penyakit. Pada umumnya, masa inkubasi penyakit Mpox berkisar antara 3 – 17 hari, meskipun pada beberapa kasus masa inkubasi dapat mencapai hingga tiga minggu (21 hari). Setelah melalui masa inkubasi, penderita yang terpapar dan terinfeksi akan mengalami gejala awal berupa demam dan flu-like symptoms lainnya, sebelum akhirnya muncul rash di permukaan tubuhnya. Penderita yang terinfeksi berstatus infeksius (dapat menularkan ke orang lain) mulai dari hari pertama hingga hari keempat kemunculan gejala-gejala tersebut.
Transmisi Mpox antara manusia ke manusia terjadi melalui kontak langsung dengan penderita, baik itu berkontak langsung/tatap muka dengan penderita; menyentuh/berkontak dengan ruam atau keropeng penderita; ataupun berkontak dengan saliva (liur), secret saluran pernafasan (misalnya, ingus dan lendir), serta area di sekitar genitalia penderita. Penularan Mpox juga dapat terjadi pada saat kontak intim yang meliputi hubungan seksual via oral, anal, dan vaginal; menyentuh genitalia penderita; serta berpelukan atau berciuman dengan penderita. Pada beberapa kasus khusus, Mpox dapat juga menyebar melalui sentuhan dengan benda yang terkontaminasi oleh penderita Mpox, misalnya, pakaian, seprei, handuk, atau sex toys yang pernah digunakan oleh penderita. Selain itu, transmisi vertikal juga dapat terjadi, yaitu ketika wanita hamil yang menderita Mpox menularkan infeksinya ke bayinya pada saat kehamilan atau proses kelahiran.
Sementara itu, transmisi Mpox dari hewan ke manusia dapat terjadi apabila manusia berkontak dengan hewan yang terinfeksi Mpox. Pada umumnya, hewan yang disinyalir menjadi ‘pembawa Mpox’ adalah hewan liar sepeti tikus dan tupai yang hidup di area epidemi Mpox (misalnya, West Africa dan Central Africa). Kontak tersebut umumnya terjadi pada saat manusia melakukan perburuan yang melibatkan hewan liar tersebut. Berdasarkan data dari studi terbatas yang ada, transmisi Mpox dari manusia ke hewan juga dimungkinkan terjadi, misalnya, saat manusia yang terinfeksi menyentuh hewan peliharaannya di rumah, dan hewan peliharaan tersebut mungkin tertular penyakit tersebut.
Apabila Anda merasakan gejala yang mengarah ke penyakit Mpox, terutama jika Anda memiliki riwayat berpergian ke area epidemi Mpox atau memiliki riwayat berkontak dengan hewan liar, Anda direkomendasikan untuk memeriksakan diri terkait kemungkinan Anda terinfeksi Mpox. Penegakkan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan rash swab, yang nantinya akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada spesimen tersebut. Hasil pemeriksaan rash swab umumnya akan keluar dalam waktu beberapa hari. Sementara itu, penderita hendaknya melakukan isolasi mandiri agar tidak menularkan infeksinya ke orang atau hewan di sekitarnya.
Apabila penderita telah terkonfirmasi menderita Mpox, penderita diharuskan melakukan perawatan dan isolasi agar tidak menularkan infeksinya ke orang atau hewan di sekitarnya. Pada dasarnya, sejauh ini tidak ada guideline treatment dari Food and Drug Administration (FDA) yang dikhususkan untuk penderita Mpox. Pemberian obat antiviral dapat diberikan dengan menggunakan obat antiviral yang diperuntukkan bagi penderita Smallpox, dengan mempertimbangkan kesamaan ‘nature’ dari kedua penyakit tersebut. Pengobatan dengan antiviral (misalnya, Tecovirimat) diberikan untuk menghambat replikasi virus, mengurangi keparahan gejala, dan mempercepat proses penyembuhan. Meskipun demikian, peresepan Tecovirimat atau obat antiviral lainnya pada penderita harus didasari oleh pertimbangan dan rekomendasi dokter. Hal tersebut lantaran pemberian Tecovirimat pada penderita dengan gejala yang sangat ringan justru akan menyebabkan resistensi penderita atas obat tersebut.
Kembali kepada potensi Mpox untuk menjadi epidemi…
Dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH selaku peneliti dan epidemiolog dari Griffith University, Australia menyebutkan bahwa kemunculan kasus Mpox kembali pada Oktober 2023 setelah kemunculan kasus pertama Mpox pada Agustus 2022 dapat menjadi penanda bahwa penyakit ini berpotensi menjadi ‘silent epidemic’. Dr. Dicky menyebutkan bahwa temuan kasus ini bukan hal yang mengagetkan ataupun menguatkan, meskipun tetap ada kecenderungan perkembangan mengarah ke epidemi yang bersifat diam-diam (silent). Pendapat dr. Dicky tersebut didasari oleh adanya stigma kuat bahwa penyakit Mpox menyebar pada kelompok pria berisiko tinggi, misalnya kelompok gay. Stigma tersebut disinyalir menyebabkan penderitanya cenderung enggan untuk mendatangi fasilitas kesehatan dan memeriksakan dirinya. Pun dengan para kontak erat dari penderita juga umumnya akan enggan untuk memeriksakan dirinya. Stigma tersebut sayangnya berpotensi untuk menyebabkan late-screening pada kasus-kasus Mpox, serta menyebabkan sulitnya Pemerintah dan otoritas berwenang untuk menanggulangi penyebaran penyakit Mpox di Indonesia.
Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia turut membenarkan adanya laporan kasus Mpox di DKI Jakarta, sekaligus membenarkan adanya potensi penyebaran Mpox yang dikhawatirkan sudah lebih luas dari yang tercatat. Meskipun demikian, Menkes Budi juga menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu terlaku khawatir karena Pemerintah tengah melakukan surveilans dan contact tracing atas penderita Mpox tersebut. Para kontak erat yang telah teridentifikasi saat ini tengah menunggu hasil pemeriksaan sembari melakukan isolasi. Selain itu, untuk menenangkan masyarakat yang tengah khawatir, Menkes Budi juga menyebutkan bahwa Vaksin Mpox pun saat ini sebenarnya sudah tersedia, yaitu JYNNEOS atau yang juga dikenal sebagai Imvamune atau Imvanex. Vaksin tersebut sangat direkomendasikan bagi mereka yang berisiko tinggi terkena Mpox, misalnya, tinggal atau akan berpergian ke area berisiko, atau berkontak dengan hewan impor yang berasal dari area berisiko.
Nah, bagaimana teman-teman? Semoga sudah lebih memahami apa itu Mpox, yaa. Semoga juga, teman-teman tidak terlalu khawatir akan pemberitaan Mpox yang saat ini tengah merebak. Yuk, kita sama-sama menjaga kesehatan diri kita dan keluarga agar senantiasa terlindung dari semua penyakit yang ada.
Stay safe and healthy, semuanya!