23 January 2024 552
Reasuransi Jiwa

Kebangkitan Infeksi Polio di Indonesia

Indonesia pernah dinyatakan bebas dari infeksi Polio pada tahun 2014, di mana, pada tahun tersebut Indonesia dan negara SEARO (South-East Asia Region) lainnya telah menerima sertifikat eliminasi Polio.
 
Oleh karena itu, kemunculan kembali wabah lumpuh layu pada dua anak di Pulau Madura dan satu anak di Jawa Tengah pada akhir tahun 2023 lalu menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat dan dunia kesehatan, terkait apakah Indonesia kembali berpotensi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio kembali seperti dulu. Hal tersebut lantaran dunia saat ini tengah menuju eradikasi total dari Polio, di mana setiap kasus Polio yang terjadi harus diinformasikan kepada World Health Organization (WHO) dan dinyatakan sebagai KLB.
 
Dilansir dari informasi yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), kasus infeksi Polio pertama kali dilaporkan terjadi pada seorang anak perempuan berusia enam tahun di Klaten, Jawa Tengah. Berdasarkan informasi dari orang tuanya, anak tersebut mengalami kelumpuhan pada 20 November 2023. Meskipun memiliki riwayat imunisasi Oral Polio Vaccine (OPV) sebanyak dua kali, anak perempuan itu pada akhirnya terdiagnosa mengalami lumpuh layu akut alias acute flaccid paralysis (AFP) yang disebabkan oleh Poliovirus Tipe 2.
 
Kasus kedua dialami oleh anak laki-laki berusia 23 bulan di Jawa Timur. Anak tersebut dikeluhkan mengalami lumpuh layu pada 22 November 2023. Anak tersebut dilaporkan memiliki riwayat imunisasi Polio yang lengkap, namun secara klinis anak tersebut dilaporkan mengalami malnutrisi. Sementara itu, kasus ketiga dialami oleh anak laki-laki di Jawa Timur yang berusia 3 tahun 1 bulan. Anak tersebut dilaporkan mengalami lumpuh pada 6 Desember 2023. Anak tersebut diketahui memiliki riwayat imunisasi OPV sebanyak empat kali dan IPV sebanyak satu kali.
 
Sebagai upaya investigasi atas temuan ketiga kasus tersebut, Maxi Rein Rondonuwu selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes juga mengatakan bahwa Kemenkes mengambil sekitar 30 sampel anak sehat di Sampang, dan sembilan anak di antaranya dinyatakan positif Polio walaupun belum menunjukkan gejala apapun.
 
Adapun di Klaten, Dinkes Klaten dan Puskesmas Manisrenggo telah melakukan pemeriksaan dan mengunjungi sekitar 200 rumah serta mengambil 30 sampel anak-anak yang merupakan teman sekolah dan tetangga sekitar penderita Polio.
 
Pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil negatif yang dapat disimpulkan bahwa penderita tertular Polio bukan dari area Klaten. Selanjutnya, investigasi menemukan fakta bahwa keluarga pasien tersebut memiliki riwayat menetap di Sampang, Madura selama 1.5 bulan, terhitung sejak September hingga November 2023. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber penularan adalah dari riwayat menetap/perjalanan di Sampang, Madura.
 
 
Sebelum membahas tentang potensi KLB Polio, mari kita me-refresh pengetahuan kita tentang Polio dan Poliovirus terlebih dahulu.
 
Poliomyelitis alias Polio merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus yang bernama Poliovirus. Infeksi ini dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk gejala derajat berat seperti kelumpuhan bahkan kematian, lantaran Poliovirus mampu menyebabkan kerusakan motor neuron pada cornu anterior sumsum tulang belakang.
 
Poliovirus sendiri merupakan serotype dari Enterovirus C dan termasuk famili dari Picornaviridae. Poliovirus terdiri dari tiga strain, yaitu Strain-1 (Brunhilde), Strain-2 (Lansig), dan Strain-3 (Leon). Dalam patofisiologi infeksinya, Poliovirus dapat ditemukan dalam bentuk Poliovirus Vaccine/Sabin, Wild Poliovirus (WPV, alias Virus Polio Liar), dan Vaccine Derived Poliovirus (VDPV).
 
Di antara ketiga bentuk tersebut, VDPV merupakan bentuk Poliovirus yang paling sering mengalami mutasi dan menyebabkan kelumpuhan pada penderitanya. Identifikasi VDPV sendiri dilakukan berdasarkan tingkat perbedaan dari strain Poliovirus, di mana, suatu Poliovirus dapat dikategorikan sebagai VDPV apabila terdapat perbedaan lebih dari 1% (lebih dari 10 perubahan nucleotide) untuk Poliovirus Tipe 1 dan Tipe 3.
 
Sedangkan, untuk Poliovirus Tipe 2 dikategorikan sebagai VDPV apabila terdapat perbedaan lebih dari 0.6% (lebih dari enam perubahan nucleotide). VDPV sendiri diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu Immonodeficient-related VDPV (iVDPV) yang berasal dari penderita immunodeficiency; Circulating VDPV (cVDPV) yang ditransmisikan dalam lingkup komunitas/masyarakat; serta Ambiguous VDPV (aVDPV) alias kategori Poliovirus yang tidak dapat diklasifikasikan baik ke dalam kategori iVDPV maupun cVDPV.
 
Masa inkubasi Poliovirus umumnya terjadi dalam waktu 7 – 10 hari, namun dapat juga terjadi dalam rentang waktu 4 – 35 hari sejak paparan virus. Mayoritas penderita infeksi Polio (90%) tidak memiliki gejala yang jelas pada awal periode infeksi, melainkan, gejala yang muncul hanya berupa gejala infeksi umum seperti demam, kelelahan (fatigue), nyeri kepala, mual, muntah, kaku pada leher, serta nyeri pada tungkai. Adapun kelemahan dan kelumpuhan anggota gerak umumnya terjadi pada waktu 7 – 21 hari.
 
Secara umum, gejala penderita Polio dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
  1. Non-Paralytic Polio
Kelompok ini merupakan penderita infeksi Polio yang tidak disertai dengan gejala kelemahan atau kelumpuhan anggota gerak. Gejala yang dialami oleh penderita umumnya adalah demam, kelelahan (fatigue), nyeri kepala, nyeri tenggorokan, muntah, serta nyeri dan rasa kaku pada area leher, tangan, dan punggung. Meskipun tidak disertai dengan kelemahan atau kelumpuhan anggota gerak, tidak berarti penderita tidak mengalami gejala berat, lantaran segelintir penderita Non-Paralytic Polio dapat mengalami peradangan selaput otak (meningitis) yang juga dapat berakibat fatal.
  1. Paralytic Polio
Kelompok ini merupakan penderita infeksi Polio yang mengalami gejala kelemahan pada anggota gerak, termasuk di antaranya penurunan refleks dan kemampuan motorik dari anggota gerak.
  1. Post-Polio Syndrome
Kelompok ini merupakan penderita infeksi Polio yang tengah dalam masa pemulihan. Beberapa gejala yang dialami dapat berupa kesulitan bernapas, kesulitan menelan, kesulitan berkonsentrasi, kelemahan otot, penurunan massa otot tubuh, mudah lelah, kesulitan bernapas, gangguan tidur, dan depresi.
 
 
Bagaimana penularan Polio dapat terjadi?
Dikarenakan disebabkan oleh virus, infeksi Polio umumnya menular melalui kontak langsung dengan penderita, atau melalui mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi oleh feses atau sekret tubuh lainnya dari penderita. Saat Poliovirus masuk ke tubuh kita, Poliovirus akan berkembang biak di dalam usus dan nantinya dapat turut berada dalam feses.
 
Poliovirus dapat bertahan di dalam saluran pencernaan penderita dan masuk ke dalam feses selama 3 – 6 minggu. Oleh karena kerentanan penularan ini, sangat dihimbau agar anak-anak dan kelompok rentan terinfeksi lainnya bisa mendapatkan Vaksin Polio untuk antisipasi dan pencegahan penyakit.
 
Infeksi Polio dapat menyerang siapa saja, namun terdapat beberapa kelompok yang berisiko tinggi untuk terinfeksi Polio, yaitu bayi dan anak terutama yang belum menerima Vaksin Polio, ibu hamil terutama dengan penyakit infeksi (misalnya, HIV), orang yang tinggal bersama atau merawat penderita Polio, orang yang tinggal di daerah dengan sanitasi dan pengaliran air yang tidak baik, serta orang yang berpergian atau tinggal di daerah dengan wabah Polio.
 
 
Bagaimana kita dapat mencegah penularan Polio?
 
Pencegahan infeksi Polio dapat dilakukan dengan pemberian Vaksin Polio. Pemberian Vaksin Polio akan membantu tubuh kita memproduksi antibodi yang dapat membantu tubuh kita melawan infeksi Polio. Pemberian Vaksin Polio dapat dilakukan melalui pemberian Oral Polio Vaccine (OPV) yang diberikan melalui tetes vaksin ke mulut atau Inactivated Polio Vaccine (IPV) yang diberikan melalui penyuntikan vaksin ke otot.
 
OPV merupakan Vaksin Polio yang dibuat dari Poliovirus yang dilemahkan, sementara IPV dibuat dari Poliovirus yang dimatikan. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. OPV memiliki kelebihan dari aspek harganya yang terjangkau, pemberiannya yang mudah, serta potensi kekebalan humoralnya yang seumur hidup. Adapun beberapa potensi kelemahan OPV di antaranya adalah potensi efek samping berupa gangguan pencernaan dan tidak bisanya OPV untuk diberikan kepada penderita immunodeficiency.
 
Sementara itu, IPV memiliki kelebihan berupa serokonversi yang tinggi dan pemberiannya yang dapat dikombinasikan dengan vaksin lain. Adapun beberapa potensi kelemahan IPV di antaranya adalah harganya yang mahal serta potensi efek samping penyuntikan seperti nyeri dan bengkak di area penyuntikan dan munculnya demam.
 
Pemberian OPV dosis pertama dapat diberikan setelah bayi lahir, disusul dosis kedua pada saat bayi berusia dua bulan, dosis ketiga pada saat bayi berusia empat bulan, dan dosis keempat pada saat bayi berusia 18 bulan. Sementara itu, pemberian IPV dosis pertama dapat diberikan pada saat bayi berusia dua bulan, disusul dosis kedua pada saat bayi berusia empat bulan, dan dosis ketiga pada saat bayi berusia 6 – 18 bulan. Selain melalui pemberian vaksin, pencegahan polio dapat dilakukan dengan mempertahankan sanitasi lingkungan yang baik.
 
 
Mengapa kasus Polio kembali muncul di Indonesia dan apa yang harus dilakukan apabila kita menemui kasus Polio di sekitar kita?
 
Sebagaimana diinformasikan di atas, Indonesia sempat dinyatakan bebas dari Polio pada tahun 2014 oleh WHO. Adapun kemunculan kembali kasus Polio di Indonesia disinyalir disebabkan oleh masih rendahnya cakupan Vaksin Polio di masyarakat, terutama sejak Pandemi COVID-19 yang meluas sejak awal tahun 2020 lalu. Data Kemenkes pada tahun 2020 menunjukkan bahwa cakupan pemberian OPV empat dosis (OPV4) rata-rata hanya berada di angka 86.8%, yang mana di bawah target nasional yaitu sebesar 95%.
 
Data cakupan IPV ternyata jauh lebih rendah dari OPV, yaitu hanya berada di angka 37.7%. Lebih jauh, data Kemenkes juga menunjukkan bahwa Aceh menjadi provinsi dengan cakupan Vaksinasi Polio terendah yaitu di kisaran angka 51.7%. Selanjutnya, pada tahun 2021, sayangnya data Kemenkes menunjukkan cakupan OPV4 kembali menurun yaitu sebesar 80.2%. Hal ini tentu harus menjadi perhatian masyarakat dan Pemerintah, terutama sejak kemunculan kembali kasus-kasus Polio pada akhir tahun 2023.
 
Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Eradikasi Polio secara global pada tahun 2026. Sebagai bentuk komitmen dari target global tersebut, pemberantasan Polio harus dipastikan melalui pemastian cakupan Program Imunisasi Polio ke seluruh lapisan masyarakat, terutama anak-anak. Program Imunisasi Polio yang saat ini berlaku di Indonesia adalah pemberian empat dosis OPV dan satu dosis IPV.
 
Untuk mengoptimalkan perlindungan, secara bertahap akan ditambahkan dosis kedua IPV (IPV2) pada saat anak berusia sembilan bulan ke dalam Program Imunisasi Nasional. Kombinasi empat dosis OPV dan dua dosis IPV merupakan rekomendasi dari WHO dan Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI). Pengenalan pemberian IPV2 ini telah mulai dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten pada tahun 2022.
 
Bila kita menemukan kasus Polio di sekitar kita, kita harus mewaspadai adanya potensi KLB Polio. Oleh karena itu, Program Outbreak Response Immunization (ORI) alias pemberian Vaksin Polio massal harus diaktivasi dengan sasaran kelompok rentan.
 
Dalam upaya pemutusan rantai penularan, Program ORI harus memiliki cakupan yang tinggi (minimal 95%) dan merata di seluruh wilayah negeri. Program ORI juga dilakukan sekurang-kurangnya selama dua siklus. Untuk menyikapi kemunculan kembali kasus-kasus Polio di Indonesia pada akhir tahun 2023 lalu, Program ORI di Indonesia akan dilakukan sebanyak dua putaran, yaitu putaran pertama pada 15 Januari 2024 dan putaran kedua pada 19 Februari 2024.
 
Penanggulangan dan pemuturan rantai transmisi Polio harus dilakukan secara serentak dengan peran aktif masyarakat. Kita harus memastikan anak-anak kita untuk memperoleh Vaksin Polio secara lengkap sesuai dengan usianya.
 
Selain itu, kita juga harus menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk dapat mencegah potensi terpapar Virus Polio yang berada di dalam feses. Apabila terdapat potensi kasus Polio di sekitar kita, hendaknya kita harus segera menyampaikan laporan ke petugas kesehatan atau otoritas kesehatan terdekat.
 
Yuk bisa yuk, kita eliminasi Polio lagi!
Stay safe and healthy, semuanya!
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id